BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Ijarah
adalah perjanjian antara pemilik barang dengan penyewa yang memperbolehkan
penyewa memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan
persetujuan kedua belah pihak. Setelah masa sewa berakhir, maka barang akan
dikembalikan kepada pemilik.
Landasan syariah
dari ijarah adalah Alquran, surat Al-Baqarah: 233, “Dan jika kamu ingin
anakmu disusunkan oleh orang lain, tidak ada dosa bagimu, apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kau kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Sedangkan Al-Ta’jiri
yaitu perjanjian antara pemilik barang dengan yang membolehkan penyewa untuk
memanfaatkan barang tersebut dengan membayar sewa sesuai dengan persetujuan kedua
belah pihak. Setelah berakhir masa sewanya, maka pemilik barang menjual barang
tersebut kepada penyewa dengan harga yang disetujui kedua belah pihak.
Ijarah adalah
akad pemindahan hak/manfaat atas suatu asset dalam waktu tertentu, dengan
pembayaran sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikkan
assset sendiri (PAPSI).
Ijarah sesuai
jenisnya dapat dibedakan menjadi:
1. Ijarah fee.
2. Ijarah asset.
Ijarah fee
antara lain:
1. Ijarah SDB.
2. Ijarah pemeliharaan rahn emas.
3. Ijarah penyimpanan rahn emas.
Ijarah asset
dapat dibedakan sebagai berikut:
- Asset berwujud.
- Asset tidak berwujud.
Ijarah asset berwujud dapat dibedakan sebagai berikut:
1.
Ijarah.
2.
Ijarah mintabiyah
bittamlik.
3.
Jual ijarah.
Ijarah asset
tidak berwujud, antara
- Ijarah berlanjut.
- Multi jasa.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan
karya ilmiah ini, kami merumuskan permasalahan didalamnya. Berikut ini rumusan
masalahnya:
1. Apakah pengertian dari ijarah?
2. Bagaimana landasan transaksi ijarah?
3. Bagaimana hak dan kewajiban kedua belah pihak?
4. Bagaimana kesempatan mengenai harga sewa?
5. Bagaimana Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT)?
6. Apa persamaan dan perbedaan antara ijarah dan leasing?
7. Bagaimana alur transaksi ijarah dan IMBT?
8. Bagaimana sukuk ijarah?
C. Tujuan Penulisan
Kami sebagai
penulis mempunyai tujuan dalam penulisan karya ilmih ini, berikut tujuan
penulisannya:
1. Untuk mengetahui pengertian dari ijarah.
2. Untuk mengetahui landasan transaksi ijarah.
3. Untuk mengetahui hak dan kewajiban kedua belah pihak.
4. Untuk mengetahui kesempatan mengenai harga sewa.
5. Untuk mengetahui Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT).
6. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara ijarah
dan leasing.
7. Untuk mengetahui alur transaksi ijarah dan IMBT.
8. Untuk mengetahui sukuk ijarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
Transaksi ijarah
dilandasi dengan adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan
kepemilikan (hak milik). Jadi, pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan
prinsip jual beli. Perbedaan terletak pada objek transaksinya. Pada jual beli,
objek transaksinya barang, sedangkan pada ijarah, objek transaksinya
adalah barang maupun jasa. Ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan
barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. (Sarkhasi, al-Mabshut,
15:74; Al-Umm, 3:250). Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah
adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam
waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri (2001). Dengan demikian, dalam akad ijarah tidak
ada perubuhan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna dari yang menyewakan kepada penyewa.(1)
Jadi, ijarah
adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara
perusahaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir)
tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.
B. Landasan Transaksi Ijarah
Landasan syariah
akad ini adalah Fatwa DSN-MUI No.09 /DSN-MUI/IV/2000 tentang ijarah. Beberapa
ketentuan yang diatur dalam fatwa ini, antara lain sebagai berikut:
1.
Rukun dan Syarat Ijarah
a.
Singhat ijarah, yaitu ijab
dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak y[1]ang
berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
b.
Pihak-pihak yang berakad
terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/ pengguna jasa.
c.
Objek akad ijarah adalah
manfaat dan sewa, dan manfaat jasa dan upah.
- Ketentuan Objek Ijarah
a.
Objek ijarah adalah manfaat
dari penggunaan barang dan atau jasa.
b.
Manfaat barang atau jasa
harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
c.
Manfaat barang atau jasa
harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
d.
Kesanggupan memenuhi
manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
e.
Manfaat harrus dikenali
secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan)
yang akan mengakibatkan sengketa.
f.
Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan
jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau
identifikasi fisik.
g.
Sewa atau upah adalah
sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran
manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula
dijadikan sewaatau upah dalam ijarah.
h.
Pembayaran sewa atau upah
boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan objek kontrak.
i.
Kelenturan (flexibility) dalam
menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan
jarak.
Perlakuan akuntansi
terhadap ijarah, apabila LKS sebagai pemilik objek ijarah berkaitan dengan
perolehan asset ijarah, penerimaan asset ijarah, penyusutan sewa ijarah dan
perbaikan asset ijarah.
- Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
a.
Kewajiban LKS sebagai
pemberi manfaat barang dan jasa:
(1) Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.
(2) Menanggung biaya pemeliharaan barang.
(3) Menjamin bila terdapat cacat padabarang yang disewakan.
b.
Kewajiban nasabah sebagai
penerima manfaat barang dan atau jasa:
(1) Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga
keuthan barang serta menggunakannya sesuai kontrak.
(2) Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak
materiil)
(3) Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari
penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat
dalam menjaganya, dan ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.([2])
C. Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
Apa saja
kewajiban penyewa dan pihak yang menyewakan? Pihak yang menyewakan wajib
mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat digunakan secara optimal oleh
penyewa. Misalnya, mobil yang disewa ternyata tidak dapat digunakan karena
akinya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya. Bila yang menyewakan
tidak dapat memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan untuk membatalkan akad
atau menerima manfaat yang rusak. Bila demikian keadaannya, apakah harga sewa
masih harus dibayar penuh? Sebagian ulama berpendapat, bila penyewa tidak
membatalkan akad, harga sewa harus dibayar penuh (Mula Khasra, Syarh Al-Durr,
3:278-279, dan Al-Muhattab, 2:405). Sebagian ulama lain berpendapat, harga sewa
dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
Penyewa wajib
menggunakan barang yang disewakan menurut syarat-syarat akad atau menurut
kalaziman penggunaannya. Penyewa juga wajib menjaga barang yang disewakan agar
tetap utuh. Bagaimana dengan perawatan barang yang disewa? Secara prinsip tidak
boleh dinyatakan dalam akad bahwa penyewa bertanggung jawab atas perawatan
karena ini berarti penyewa bertanggung jawab atas jumlah yang tidak pasti (gharar). Oleh karena itu, ulama
berpendapat bahwa bila penyewa diminta untuk melakukan perawatan, ia berhak
untuk mendapatkan upada dan biaya yang wajar untuk pekerjaannya itu. Bila
penyewa melakukan perawatan atas kehendaknya sendiri, ini dianggap sebagai
hadiah dari penyewa dan ia tidak dapat meminta pembayaran apapun (Al-Fatawa
Al-Hindiyah, 4:443; Al-Buhuti, Kasyful Qina’, 4;416; Al-Ramli, Nihayatul
Muhtaj, 5:264-256).
D. Kesepakatan Mengenai Harga Sewa
Misalnya,
dikatakan, “Saya sewakan mobil ini selama satu bulan dengan harga sewa Rp X.”
Bila penyewa ingin memperpanjang masa sewa, dapat saja harga sewanya berubah.
Bahkan, “pihak yang menyewakan dapat saja meminta harga sewa dua kali lipat
daripada sebelumnya. Sebaliknya, penyewa
dapat saja menawar setengah harga sewa sebelumnya. Semuanya tergantung
kesepakatan antara kedua belah pihak: penyewa dan pihak yang menyewakan. Namun,
dalam periode pertama telah disepakati harga sewanya, itulah kesepakatannya.
Mayoritas ulama mengatakan, “Syarat-syarat yang berlaku bagi harga jual berlaku
juga bagi harga sewa” (Al-Dardir, Syarh Al-Shagir, 4:59; Al-Ramli, Nihayatul
Muhtaj, 5:322, Ibnu Qudhamah, Al-Mughni,5:327).
Bagaimana dengan
praktik para penjahit, misalnya menjelang lebaran, yang menentukan harga jahit
makin tinggi? Ulama mazhab memberikan keleluasaan dalam menentukan harga sewa
semacam itu. Al-Jaziri mencontohkan, “Jika Anda menjahitkan bajuku hari ini,
upahnya satu dirham; jika Anda menjahit bajuku besok, upahnya setengah dirham.
Jika Anda tinggal di rumahini sebagai tukang besi, sewanya sepuluh dirham; jika
Anda tinggal di rumah ini sebagai penjual minyak wangi, sewanya lima dirham.”
E. Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT)
Bai’u wal Ijarah
Muntahia Bit Tamlik (IMBT) merupakan rangkaian dua buah akad, yakni bai’u
merupakan akad jual beli, dan IMBT merupakan kombinasi antara sewa-menyewa (ijarah)
dan jual atau hibah pada akhir masa sewa. Dalam ijarah muntahia bit tamlik,
perpindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut
ini.
1. Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang
disewakan tersebut pada akhir masa sewa;
2. Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang
disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
Pilihan untuk
menjual barang pada akhir masa sewa (alternati 1) biasanya diambil bila
kemapuan finansial penyewa untuk membayar sewa relatif kecil. Pilihan untuk menghibahkan
barang pada akhir masa sewa (alternatif 2) biasanya diambil bila kemapuan
finansial penyewa untuk membayar sewa relatif lebih besar.
Pada Bai’u wal
Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT) dengan sumber pembiayaan dari Unrestricted
Investment Account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan secara
bulanan. Hal ini karena pihak bank harus mempunyai cash in setiap bulan
untuk memberikan bagi hasil kepada para nasabah yang dilakukan serta bulanan
juga.([3])
Fatwa MUI tentang
IMBT, antara lain:
1.
Pihak yang melakukan
al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad ijarah terlebih
dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian,
hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
2.
Janji pemindahan
kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’ad yang hukumnya
tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad
pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.([4])
Pembiayaan IMBT
tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama dengan sewa beli dan tidak
sama pula dengan financial leasing. Ada pun berbagai persamaan dan perbedaan
tersebut, antara lain:
1.
Dalam sewa beli, lease
tomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa, sedangkan pada IMBT, janji
pemindahan kepemilikan dilakukan awal akad ijarah adalah wa’ad (janji) yang
hukumnya tidak mengikat. Bila jani itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad
pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai. Pada
financial leasing, kepemilikan lease tersebut hanya terjadi bila hak opsinya
dilaksanakan oleh lease.
2.
Angsuran bulanan IMBT yang
dibayarkan nasabah dengan prinsip pembiayaan IMBT paling tidak mempunyai dua
pilihan, sebagai berikut:
a. Memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada
akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil.
b. Tidak memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga
pada akhir masa ijarah, nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa tidak
nihil (nilai residu).
3.
Pihak lessor dalam leasing
hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang modal oleh lease dan barang
tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tetapi dari pihak ketiga atau dari
pihak lease sendiri. Pada sewa beli, lessor bermaksud melakukan semacam
investasi dengan barang yang disewakannya itu dengan uang sewa sebagai
keuntunganya.
4.
Pembiayaan IMBT adalah
penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT
itu sendiri.
5.
Financial leasing boleh
dilakukan oleh perusahaan pembiayaan, sedangkan sewa beli tidak termasuk
kegiatan lembaga pembiayaan.
Penyajian objek
sewa yang dibeli untuk disewakan kembali disajikan dalam neraca pada pos aktiva
ijarah. Aktiva ijarah merupakan aktiva yang menjadi objek transaksi sewa
(ijarah) dan dicatat di neraca sebesar harga perolehan dikurangi akumulasi
penyusutan.
Penyusutan IMBT
atau amortasi untuk pembiayaan IMBT mengacu pada standar akuntansi keuangan
yang berlaku pada Bank Syariah. Kebijakan penyusutan atau amortasi yang dipilih
harus konsisten dan mencerminkan pola konsumsi yang diharapkan dari manfaat
ekonomi di masa depan dari objek ijarah.
Asset pada IMBT
selama maa sewa masih dicatat pada neraca mua’jir, tetapi mua’jir tidak
membebankan beban penyusutan pada laba ruginya, sama seperti fiscal. Pengakuan
asset yang disewakan pada IMBT berbeda dengan Financial Leasing, dimana
pada financial leasing asset yang disewakan telah diakui pada lease (penyewa)
dan penyusutan dilakukan oleh lease. Uang muka pembayaran sewa aktiva ijarah
disajikan dalam pos aktiva lain-lain. Tunggakan pendapatn sewa disajikan dalam
pos piutang pendapatan ijarah. Piutang ijarah adalah tagihan yang timbul karena
adanya pendapatan sewa yang belum diterima oleh LKS sebagai pemilik objek sewa
dari transaksi ijarah atau ijarah Muntahiyah Bittamlik. Pemindahan objek sewa
dapat terjadi LKS dan Bank Syariah dengan posisi sebagai pemilik objek sewa dan
pemakai objek sewa.([5])
F. Ijarah dan Leasing
Karena ijarah
adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan
kepemilikan, maka banyak orang yang menyamakan ijarah ini dengan leasing.
Ini terjadi karena kedua istilah tersebuut sama-sama mengacu kepada hal
sewa-menyewa. Menyamakan ijarah dengan leasing, ada beberapa
karakteristik yang membedakannya.([6])
Berikut ini
persamaan ijarah dan leasing:
- Memindahkan hak guna sampai waktu tertentu.
- Tidak mengalihkan kepemilikan barang.
- Tujuannya mengharapkan keuntungan.
- Perhitungan ujrah pada ijarah hampir sama dengan perhitungan Lease Payment pada operating lease.
Adapun perbedaan diantara ijarah dan leasing,
yaitu sebagai berikut:
1.
Akad atau niat pada
operating lease hanyalah dapat menggunakan aktiva tertentu dengan pembayaran
sewa tertentu.
2.
Akad pada ijarah terdiri
dari Qardh dan bagi hasil.([7])
G. Alur Transaksi Ijarah dan IMBT
Berikut ini alur transaksi ijarah
dan IMBT:
4. membayar sewa pada 3.
menggunakan objek Ijarah
2. Memberi barang/jasa pada
pemasok 5. Mengalihkan hak milik
barang ijarah pada akhir
masa sewa (khusus IMBT)
Alur transaksi ijarah
dan IMBT yaitu; pertama, nasabah mengajukann permohonan ijarah dengan
mengisi formulir permohonan. Berbagai informasi yang diberikan selanjutnya
diverifikasi kebenarannya dan analisis kelayakannya oleh bank syariah. Bagi
nasabah yang dianggap layak, selanjutnya diadakan perikatan dalam bentuk
penandatanganan kontrak ijarah atau IMBT. Kedua, sebagaimana difatwakan
oleh DSN, bank selanjutnya menyediakan objek sewa yang akan digunakan oleh
kepada nasabah. Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang
atau jasa yang akan disewa nasabah untuk selanjutnya dibeli atau dibayar oleh
bank syariah. Ketiga, nasabah menggunakan barang atau jasa yang
disewakan sebagaimana yang telah disepakati dalam kontrak. Selama penggunaan
objek sewa, nasabah menjaga dan menanggung biaya pemeliharaan barang yang
disewa sesuai kesepakatan. Sekiranya terjadi kerusakan bukan karena kesalahan
penyewa, maka bank syariah sebagai pemberi sewa akan menanggung biaya
perbaikannya. Keempat, nasabah penyewa membayar fee sewa kepada
bank syariah sesuai dengan kesepakatan akad sewa. Kelima, pada transaksi
IMBT, setelah masa ijarah selesai, bank sebagai pemilik barang dapat melakukan
pengalihan hak milik kepada penyewa.([8])
H. Sukuk Ijarah
Sukuk ijarah
merupakan surat berharga yang merepresentasikan kepemilikan penyertaan atas
asset yang disewakan. Sukuk ini memberikan hak kepada para pemegangnya untuk
mendapatkan uang sewa, serta hak untuk mengalihkan kepemilikan berdasarkan
penyertaan yang mereka miliki tanpa memengaruhi hak si penyewa, dengan kata
lain sukuk ini dapat dijualbelikan.
Para pemilik
sukuk menanggung seluruh biaya perawatan dan kerusakan dari asset yang dimiliki
berdasarkan proporsi kepemilikan mereka. Sukuk adalah sertifikat partisipasi islami yang dapat diperdagangkan
berdasarkan kepemilikan dan pertukaran dari asset yang disepakati bersama. Suku
ijarah, kontrak yang mendasarinya adalah ijarah yaitu sewa menyewa (leasing)
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sukuk ijarah tidak boleh bertentangan dengan syariah,
seperti:
1.
Usaha perjudian dan
permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang.
2.
Usaha lembaga keuangan
konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional.
3.
Usaha yang memproduksi,
mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram.
4.
Usaha yang memproduksi,
mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak
moral dan bersifat mudarat (Fatwa No. 20 DSN-MUI/IV/2001).
5.
Keuntungan yang akan
dibagikan oleh penerbit sukuk ijarah harus bersumber dari hasil
usaha/pengelolaan suku ijarah itu sendiri.
Untuk dapat
melakukan kontrak sukuk berbasisi ijarah, para investor, penerbit sukuk, dan
pihak terkait lainnya wajib memenuhi sejumlah persyaratan tertentu.
1.
Pertama, kedua belah pihak
yang akan melakukan akad harus berkemampuan dan berakal.
2.
Kedua, akil baligh
sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Asy Syafi’i dan Hambali, sehingga
berakad dengan anak kecil dinyatakan tidak sah.
Selanjutnya, agar
transaksi berbasis ijarah tersebut menjadi sah (valid), diperlukan pula
sejumlah ketentuan tambahan.
1.
Adanya kerelaan kedua belah
pihak yang melakukan akad sebagaimana Firman Allah SWT pada Surat An-Nisa ayat
29.
2.
Mengetahui secara sempurrna
manfaat dari barang yang menjadi objek akad, antara lain untuk mencegah
terjadinya perselisihan.
3.
Barang atau asset yang
menjadi objek akad dapat dimanfaatkan sesuai dengan kriteria, realita dan
syara.
4.
Asset tersebut sudah jelas,
nyata, dan dimiliki penerbit sukuk sehingga dapat disewakan untuk diambil
manfaatnya.
5.
Sewa-menyewa yang dilakukan
bukan untuk sesuatu yang diharamkan.
Sukuk ijarah
dapat diperjualbelikan di pasar modal dengan harga yang ditentukan oleh
kekuatan pasar. Kegiatan ekonomi, investasi, dan resiko yang berhubungan dengan
kesanggupan penyewa untuk membayar harga sewa sera biaya penjaminan dan
pemeliharaan asset menentukan harga sukuk ijarah di pasar keuangan. Namun
demikian, sukuk ijarah menawarkan suatu bentuk surat berharga yang fleksible
dan marketable dibandingkan jenis sukuk lainnya.([9])
Berikut gambar
Skema Transfer Manfaat Asset.
Gambar Skema Transfer Manfaat Asset
Perusahaan dalam
menerbitkan sukuk ijarah, menetapkan asset yang akan diijarahkan, kemudian:
- Perusahaan menjual manfaat asset kepada investor. Atas transaksi ini, perusahaan memperoleh pembayaran lumpsum dari investor.
- Investor memperoleh sertifikat sukukkijarah, dimana investor melakukan akan ijarah, yang memosisikan perusahaan menjadi lease ddan investor menjadi leaser.
- Selanjutnya, investor dan perusahaan menandatangani akad wakalah, yang berisi bahwa investor memberikan kuasa kepada perusahaan atas manfaat asset underlying ijarah.
- Kuasa tersebut, digunakan oleh perusahaan untuk mencari end customer yang bermaksud untuk menyewa asset underlying ijarah. Hal ini dilakukan karena perusahaan memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan investor terhadap industrinya. Setelah menemukan end customer, perusahaan mentransfer manfaat asset underlying ijarah. Dalam tahap ini seakan-akan peranan perusahaan adalah sebagai lessor mewakili investor dan end customer adalah sebagai lease.
- End customer berkewajiban membayar penggunaan asset underlying ijarah. Pembayaran ini merupakan sumber kupon ijarah yang akan dibayarkan perusahaan selaku lease kepada investor selaku lessor.([10])
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Definisi
akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa
diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu. Para fuqaha sepakat bahwa
ijarah merupakan akad yang diperbolehkan oleh syara’, kecuali beberapa ulama,
seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani,
Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak memperbolehkan Ijarah, karena ijarah
adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukan akad, tidak
bisa diserahterimakan. Rukun ijarah ada 4 yaitu: ‘Aqid ( orang
yang akad), Shigat akad, Ujrah (upah), Manfaat.
Syarat
ijarah terdiri dari empat macam , sebagaimana syarat dalam jual beli , yaitu
syarat Al-inqad ( terjadinya akad), syarat an-nafadz ( syarat pelaksanaan
akad), syarat sah, dan syarat lazim Al Ijarah Al Muntahiya bit
Tamlik (financial leasing with purchase option) atau Akad sewa menyewa yang
berakhir dengan kepemilikan. Definisinya : Istilah ini tersusun dari dua kata :
At-ta’jiir / al-ijaaroh (sewa), At-tamliik (kepemilikan).
B.
Saran
Dalam
pelaksanaan ijarah harus ada akadnya. Antara pemberi sewa dan menyewa harus
mengikuti perjanjiannya satu sama lain dan orang yang menyewa barang harus bertanggung
jawab atas barang yang ia sewa. Kegiatan ijarah harus memenuhi rukun dan syarat
yang telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyono,
Djoko. 2015. Perbankan dan Lembaga Keuangan. Yogyakarta: ANDI
Rizal
Yaya, dkk. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah Teori dan Praktik Kontemporer.
Jakarta: Salemba Empat.
Veithzal
Rivai dan Andria Permata Veithzal. 2008. Islamic Financial Management.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
[1] Veithzal Rivai, Islamic Financial
Management, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 176.
[3] Veithzal Rivai, Islamic Financial
Management, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 177-178.
[6] Veithzal Rivai, Islamic Financial Management, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 179.
[7] Djoko Mulyono, Perbankan dan
Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta, 2015, hlm. 282-283.
[8] Yaya Rizal, Akuntansi Perbankan
Syariah Teori dan Praktik Kontemporer, Salemba Empat, Jakarta, 2009, hlm.
289-290.
[9] Djoko Mulyono, Perbankan dan
Lembaga Keuangan Syariah, ANDI, Yogyakarta, 2015, hlm. 307-308.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar